Ngidam Suami Orang


“Keinginan istri ngidam harus segera dilaksanakan, supaya anaknya gak ngeces kelak,” sahutnya sambil mengecup dahiku.

“Terus… apa yang harus kulakukan nanti Mas?”

“Lho… kok nanya sama aku? Lakukan aja apa yang Adek mau.”

“Aku cuma pengen lihat dan megang penisnya.”

“Megang penisnya sampai ereksi kan?”

“Mmm… iya Mas,” sahutku jujur. Memang aku takkan suka kalau penis anak buah suamiku itu tidak ereksi. Apa enaknya megangin penis yang terkulai lemas?

“Kalau penisnya gak tegang, remas-remas aja seperti kalau Adek sedang merangsangku.”

Aku termangu. Ucapan-ucapan suamiku dilontarkan begitu santainya, seolah tiada sesuatu yang luar biasa baginya.

“Mas,” kataku sesaat kemudian, “aku mau mandi dulu, boleh gak?”

“Iya, mandilah sebersih mungkin. Adek harus kelihatan secantik dan semenarik mungkin. Kalau Adek kelihatan kusut, bisa lemes titit si Dimas nanti. Hahahaa…”

Aku tersipu. Lalu melangkah ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku tercenung di depan cermin besar yang menempel di dinding keramik. Lalu kutanggalkan segala yang melekat di tubuhku sampai telanjang. Kehamilanku baru enam minggu, jadi perutku biasa-biasa saja, belum buncit.

Kupandang bayangan sekujur tubuh telanjangku di depan cermin. Tubuh yang mulus, tanpa noda setitik pun, dengan kulit yang putih kekuning-kuningan. Sementara mataku juga agak sipit, sehingga pantaslah kalau orang-orang mengiraku amoy.

Ya, aku ingat benar, teman sekelasku dulu suka menjulukiku “amoy”, karena wajah dan kulitku mirip orang Tionghoa. Padahal aku asli Indonesia.

Tubuhku tinggi tegap, dengan sepasang payudara yang berukuran sedang-sedang saja, namun masih padat sekali. Dahulu aku pernah bercita-cita ingin menjadi seorang polwan. Tapi banyak temanku yang bilang, bahwa aku terlalu cantik untuk menjadi seorang polwan. Lagian sikap dan perilakuku terlalu lemah gemulai, sehingga Santi (teman sekelasku) pernah berkata, “Kamu lebih cocok daftar jadi pramugari atau gadis model Lus.

Tapi seringnya terjadi kecelakaan pesawat terbang membuatku takut, tak berani mendaftarkan diri jadi pramugari. Jadi gadis model pun aku tak mau, karena sering tersiar berita negatif tentang para gadis model, yang ujung-ujungnya terjerumus ke jurang prostitusi terselubung.

Setelah mandi sebersih mungkin, tadinya aku mau berdandan seperti mau bepergian. Tapi setelah dipikir-pikir, aku tak mau terlalu kentara ingin menarik perhatian. Karena itu kukenakan kimono sutra putih polosku. Lalu bermake-up tipis, menyisir rambutku dan menyemprotkan parfum di beberapa bagian “penting”.

Baru saja aku selesai merapikan rambutku, Mas Adit masuk lagi ke dalam kamar. Dan berkata, “Dimas udah di jalan menuju ke sini.”

Aku degdegan juga mendengar laporan suamiku itu. Lalu bertanya, “Nanti sebatas apa yang boleh kulakukan Mas?”

“Apa pun boleh Adek lakukan. Bahkan kalau perlu… mengoralnya juga boleh. Asal jangan penetrasi aja,” sahut suamiku sambil tersenyum.

“Haaa?! Mengoralnya juga boleh?” cetusku sambil memegang pergelangan tangan suamiku.

“Boleh,” sahut suamiku bernada lembut, “Kan di depan mataku, mungkin Dimas takut-takut, sehingga penisnya sulit dibangkitkan. Langkah terakhir yang boleh Adek lakukan ya mengoralnya…”

“Tapi… kalau dia jadi nafsu gimana Mas?”

“Oral aja terus sampai ngecrot. Hehehee… terus terang, acara sebentar lagi ini membuatku jadi terangsang, Dek. Orang lain kan ada yang sengaja sharing wife atau swinger… sedangkan aku belum pernah melakukannya.”

“Jadi…?”

“Jadi sebenarnya aku juga merasa bersemangat saat ini. Makanya jangan canggung-canggung nanti ya. Lakukan aja semua yang Adek mau, yang penting jangan sampai penetrasi. Kan Adek sudah berpengalaman membuatku puas pada saat Adek lagi haid.”

Aku cuma mengangguk - angguk dengan perasaan tak menentu. Memang aku sering mengoral suamiku sampai ejakulasi pada saat aku sedang menstruasi. Tapi mungkinkah aku tega melakukannya kepada anak muda yang ganteng bernama Dimas itu… di depan suamiku pula?

Ketika aku masih termangu memikirkan semuanya itu, tiba-tiba terdengar bunyi bel berdentang-denting.

“Nah itu Dimas datang,” suamiku bangkit dari sofa di kamarku, “Adek tunggu aja di sini ya. Nanti kalau sudah ada kesepakatan, Dimas akan kuajak masuk ke sini. Santai aja ya sayang. Keinginanmu pasti terwujud.”

Aku mengangguk perlahan, dengan jantung memukul lebih kencang daripada biasanya.

Lalu suamiku keluar dari kamar. Dan aku duduk di sofa yang agak jauh dari bed. Lalu menyalakan tiviku, meski ingatanku ke arah Dimas terus.

Masa ngidamku memang aneh. Wanita lain di masa ngidamnya menginginkan makanan ini - itu. Tapi aku malah… ah… aku malu mengatakannya berulang-ulang. Untungnya aku punya suami yang bisa mengikuti jalan pikiran istrinya yang sedang ngidam ini. Kalau tidak, pasti bertengkar jadinya.

Agak lama suamiku berbincang-bincang dengan Dimas di ruang tamu. Mungkin suamiku sedang mengatur apa yang harus Dimas lakukan di dalam kamar ini nanti.

Sedangkan aku benar-benar degdegan menunggu mereka. Tapi tetap dengan harapan ingin agar fantasi ngidamku terwujud.

Dan ketika pintu kamarku dibuka oleh suamiku, aku semakin degdegan. Terlebih setelah tampak Dimas yang tampan itu melangkah masuk di belakang suamiku. Ada perasaan malu juga ketika bertemu pandang dengan Dimas yang muda rupawan itu. Namun kulihat ia pun tersipu-sipu, seperti malu juga.

Dan suamiku berkata, “Nah… semuanya sudah clear ya Dim. Seperti yang sudah diceritakan tadi, istriku sedang ngidam. Dan ngidamnya itu pengen megang penismu dalam keadaan ereksi.”

Dimas mengangguk-angguk kecil, tapi tampak seperti belum berani melihat mukaku.

“Nah.” suamiku melanjutkan,” aku sendiri malah bersemangat untuk mengabulkan keinginan ngidamnya istriku. Jadi sekarang apa pun boleh dilakukan, asalkan jangan penetrasi saja.”

“Ma… maksudnya gimana Mas?” tanya Dimas tampak bingung.

“Setelah penismu dipegang oleh istriku, segala kemungkinan kan bisa terjadi. Nah… dalam suasana seperti itu, apa pun boleh kalian lakukan. Yang gak boleh cuma penetrasi saja. Faham kan?”

“I… iya Mas …” Dimas mengangguk dengan sikap yang masih tampak bingung.

Aku terduduk rikuh di sofa yang agak jauh dari bed. Sementara Dimas tampak sedang menurunkan ritsleting celana jeansnya. Dan aku mulai degdegan. Tapi rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, ingin secepatnya menyaksikan dan memegang penis anak muda 25 tahunan itu.

Aku tak tahu kenapa ngidamku seperti ini. Malu sendiri aku menceritakannya. Tapi seandainya Mas Adit tidak meluluskan keinginanku, aku pun takkan memaksanya.

Dan Mas Adit seolah mengerti bahwa pada saat itu aku sedang canggung sekali. Karena Dimas sudah melepaskan celana jeansnya. Mas Adit malah membisiki telingaku, “Nanti kalau penisnya lemas terus, sebaiknya Adek lepasin kimononya. Kalau perlu, telanjang bulat juga boleh. Pokoknya apa pun boleh, kecuali penetrasi aja yang gak boleh.

“Lalu… kalau dia megang ke sana-sini gimana?” tanyaku perlahan, sementara Dimas sedang melepaskan baju kausnya.

“Gak apa-apa. Megang apa pun boleh. Bahkan Adek boleh ngemut penisnya, kalau perlu sampai ngecrot, asalkan penisnya jangan dimasukin ke tempik Adek aja,” sahut Mas Adit setengah berbisik.

Buat orang lain, mungkin “ijin” dari suamiku itu termasuk aneh bin ajaib. Tapi jiwaku sendiri sedang dibelenggu oleh hasrat yang aneh. Sehingga aku menanggapi bisikan suamiku itu dengan anggukan kepala… dengan desir-desir aneh yang semakin melanda batinku.

“Mas… apakah Mas benar-benar mengijinkan semuanya ini?” tanyaku perlahan.

“Iya sayang,” sahut suamiku sambil mengelus rambutku.

“Mas gak marah?”

“Gak,” suamiku menggeleng, lalu menoleh ke arah Dimas, “Nah… seperti yang sudah kukatakan tadi, kalian bebas melakukan apa saja, kecuali penetrasi. Oke?”

Dimas sudah bertelanjang dada. Celana jeansnya memang belum dilepaskan, tapi ritsletingnya sudah diturunkan sampai habis, sehingga celana jeans itu melorot sampai pahanya, sehingga celana dalam putihnya sudah tampak. Tapi apa yang ingin kulihat dan kupegang itu masih tertutup oleh celana dalamnya.

Dan aku semakin degdegan ketika Dimas sudah berdiri di depanku, dengan celana jeans yang sudah ditanggalkan, sehingga ia tinggal bercelana dalam saja. “Silakan Mbak…” kata Dimas sambil meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya.

“Lepasin dulu celana dalamnya dong …” sahutku canggung, tanpa berani memandang ke arah Dimas maupun suamiku.

“Iya, gak usah sungkan-sungkan… buka aja celana dalammu Dim,” kata suamiku memperkuat permintaanku.

Dimas menatapku dengan sorot ragu. Tapi lalu ia menanggalkan celana dalamnya.

Dan aku mulai degdegan setelah melihat penis Dimas itu. Masih terkulai, tapi tampak panjang sekali, jauh lebih panjang daripada punya suamiku. Seperti apa kalau sudah ngaceng?

Aku mendekatkan tanganku ke arah penis yang masih terkulai lemas itu, sambil menoleh pada suamiku, sebagai sikap untuk meminta ijin karena aku ingin memegang penis yang masih lemas itu.

Suamiku mengangguk sambil tersenyum. Pertanda mempersilakanku untuk melakukan apa yang kuinginkan.

Meski masih merasa canggung, tanganku mulai menggenggam penis Dimas yang lemas itu. Lalu… sedikit demi sedikit penis Dimas membesar dan menegang. Tapi sesaat kemudian melemah lagi.

Tiba-tiba suamiku berkata padaku, “Aku jadi horny Dek. Gimana kalau kita main dalam posisi doggy, supaya tetap bisa mainkan titit Dimas?”

Aku menoleh pada suamiku sambil menyahut, “Terserah …”

Lalu suamiku mengaturnya. Mula-mula ia melepaskan kimono sutra putihku, sehingga aku jadi telanjang bulat di depan mata Dimas dan suamiku. Dimas terlongong menyaksikanku sudah telanjang begini. Tapi suamiku menyuruh Dimas terlentang di atas tempat tidurku. Lalu aku disuruh menungging sambil “ngerjain” penis Dimas sesukaku.

Dalam keadaan horny berat kuikuti semua petunjuk suamiku. Bahwa sambil menungging di antara kedua kaki Dimas, aku memberanikan diri mengulum penis anak muda yang masih lemas itu. Sementara suamiku terasa mulai menjilati kemaluanku dari belakang. Kadang terasa anusku pun dijilatinya. Sehingga aku semakin horny.

Dimas tampak keenakan dengan selomotanku. Penisnya mulai menegang dan menegang terus sampai dalam keadaan “siap tempur”. Sementara itu, diam-diam suamiku mulai membenamkan penisnya ke dalam kemaluanku dari belakang. Hmmm… ini memang asyik… ketika Mas Adit mulai mengentotku dalam posisi doggy ini, aku pun semakin bersemangat untuk menyelomoti batang kemaluan Dimas yang sudah benar-benar ngaceng ini.

Dimas pun mulai berdengus-dengus. Sementara suamiku masih sempat berkata, “Toketnya remas, Dim. Tapi jangan terlalu keras.”

“Iii… iya Mas …” sahut Dimas sambil menjulurkan tangannya ke arah payudaraku. Dan mulai melakukan apa yang diminta oleh suamiku. Meremas sepasang payudaraku dengan lembut dari arah samping.

Gila… ini fantastis sekali. Bahwa ketika suamiku semakin gencar mengentotku dari belakang, aku pun semakin binal menyelomoti penis Dimas, terkadang menjilati puncaknya, terkadang menyedotnya… wow… baru sekali ini aku merasakan nikmatnya bersetubuh. Bahkan aku mulai berfantasi. Seolah-olah penis yang tengah mengentotku dari belakang itu penis Dimas.

Tapi sayang… suamiku tak bisa bertahan lama. Baru belasan menit ia mengentotku, terasa penisnya didesakkan kuat-kuat… lalu air maninya menyemprot-nyemprot ke dalam liang kemaluanku.

Aku kecewa berat. Padahal aku masih ingin lama merasakan kenikmatan yang lebih daripada biasanya ini.

Namun tiba-tiba suamiku berkata, “Dimas… keputusanku berubah. Kamu boleh menyetubuhi istriku, tapi jangan dilepaskan di dalam.”

Aku pun mengeluarkan penis Dimas dari dalam mulutku. Dan menoleh ke arah suamiku, “Gak salah Mas? Katanya gak boleh penetrasi …”

Mas Adit mengelus rambutku sambil menjawab, “Adek pasti belum puas. Sementara aku juga merasa kasihan pada Dimas. Pasti dia sangat tersiksa, karena hasratnya tidak disalurkan sampai tuntas. Jadi kuijinkan Dimas menggaulimu secara normal.”

Sebenarnya aku gembira pada keputusan suamiku itu. Tapi aku masih mencoba untuk meyakinkan bahwa keputusan suamiku benar-benar sudah bulat. “Aku kan sedang hamil Mas. Gimana anaknya nanti… punya ayah dua orang?”

“Anakku tetap anakku,” sahut suamiku, “Dia kan sudah terbentuk dengan DNAku. Meski Dimas lepasin di dalam, DNA janin itu takkan berubah. Ayolah… aku ingin menyaksikan Adek main sama Dimas.”

“Ntar… aku mau pipis dulu,” ucapku sambil turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi.

Sebenarnya aku bukan sekadar mau pipis, tapi sekaligus ingin mencuci dan mengelap kemaluanku sampai kering. Tak enak rasanya “menyerahkan” kemaluanku pada Dimas dalam keadaan basah kuyup oleh air mani suamiku ini.

Entah kenapa, meski bersikap canggung, di dalam hatiku ada perasaan ingin membuat kemaluanku prima dan jangan ada kesan buruk di hati Dimas nanti.

Aku pun berjongkok dan pipis. Lalu kubersihkan kemaluanku dengan sabun. Setelah kubilas, kuseka kemaluanku dengan handuk sampai benar-benar kering dan bersih.

Ketika mau keluar, aku berpapasan dengan suamiku yang masih dalam keadaan telanjang, sementara aku sudah membelitkan handuk dari payudaraku sampai pangkal pahaku.

“Lakukanlah dengan baik ya,” bisik suamiku, “Kalau perlu, bersikap centil juga gak apa-apa. Kalau Dimas masih ragu-ragu, usir keraguannya itu. Pokoknya bikinlah supaya Dimas ketagihan.”

“Kenapa harus gitu Mas?” tanyaku heran, meski sebenarnya isi hatiku sama dengan ucapan suamiku itu.

“Sudah lama aku sering membayangkan istriku digauli lelaki lain. Pasti ada effek bagus pada batinku nanti. Aku akan cemburu melihatmu digauli oleh Dimas, lalu dari cemburu itu akan muncul gairah yang luar biasa. Nanti saja kujelaskan semua. Dimas sudah menunggu tuh. Pasti dengan tak sabaran,” kata suamiku sambil menepuk bahuku.

“Tapi Mas janji dulu… janji akan tetap mencintaiku…”

Mas Adit tersenyum dan mengecup pipiku sambil berkata setengah berbisik, “Cintaku bahkan akan semakin besar nanti Dek. Itu janjiku !”

Aku tersenyum senang. Karena aku percaya bahwa suamiku selalu menepati janjinya. Lalu aku menghampiri Dimas yang masih telanjang dan duduk di pinggiran tempat tidurku. Dengan sikap canggung.

Dan seperti yang diminta oleh suamiku, aku “berkewajiban” untuk mengusir kecanggungan Dimas itu. Maka aku pun menanggalkan handuk yang membelitku, berdiri di depan Dimas, dengan senyum di bibirfku. Lalu duduk merapat ke samping Dimas, sambil merayapkan tanganku ke arah penisnya yang masih ngaceng sambil berkata setengah berbisik, “Penisnya mau dimainkan di dalam vegiku?

Sambil membuang muka Dimas menyahut, “Mas Adit kan sudah ngijinin. Jadi… tergantung Mbak sekarang. Kalau saya sih sangat mau Mbak …”

“Aku juga tergantung Mas Adit. Karena dia sudah menyuruh… ya aku mau disetubuhi olehmu, Dim. Tapi aku sedang hamil. Usahakan jangan terlalu menghimpit perutku ya.”

“Baik Mbak …”

Aku berpikir sejenak. Lalu bergerak ke pinggiran bed. Pantatku jadi di pinggiran bed, sementara kedua kakiku terjuntai ke lantai. Dan berkata, “Kamu main sambil berdiri kan bisa Dim.”

“Iya Mbak,” sahut Dimas yang langsung berdiri di antara kedua belah kakiku.

Sudut mataku mencari-cari suamiku yang belum muncul-muncul. Mungkin dia sekalian mandi atau mungkin juga sedang boker. Soalnya lama juga ia di kamar mandi. Sementara Dimas sudah meletakkan moncong penisnya di mulut kemaluanku.

“Ayo… dorong Dim …”ucapku tak sabar. Ingin agar Dimas segera membenamkan penisnya pada saat suamiku belum muncul. Soalnya diam-diam Dimas telah membangkitkan rasa penasaran dan birahi yang sangat hangat di dalam batinku. Lalu… apakah aku akan disalahkan oleh suamiku kelak?

Entahlah. Yang jelas, ketika batang kemaluan Dimas yang panjang gede itu mulai melesak masuk ke dalam liang kewanitaanku, oh… rasanya syur sekali… karena birahiku memang sudah menggila…!

Terlebih lagi setelah Dimas mengayun tongkat kejantanannya di dalam liang kemaluanku yang sudah basah ini… aku mulai melayang-layang di alam birahi yang sangat indah, yang demikian indahnya sehingga sulit kulukiskan dalam kata-kata.

Dan terdengar suara suamiku, “Gak usah sambil berdiri gitu Dim. Telungkup juga gak apa-apa. Asalkan perutku jangan terlalu digencet aja. Sambil tahan badanmu agar tidak terlalu menggencet perutku.”





Mendengar suara Mas Adit, aku pun menoleh padanya, dengan senyum malu-malu. Tapi Mas Adit cuma tersenyum sambil mengacungkan jempol. Sementara Dimas sudah berada di atas perutku, sambil mendesakkan batang kemaluan, dengan kedua lengan menahan badannya agar tidak menghimpit perutku.

Dalam perasaan canggung ini kupejamkan mataku sambil merentangkan kedua pahaku selebar mungkin. Dan… aaaah… batang kemaluan panjang gede itu mulai melesak ke dalam liang kewanitaanku. Membuatku semakin terpejam karena malu pada suamiku. Terlebih ketika penis Dimas mulai mengentot liang senggamaku…

Terdengar suamiku yang ditujukan kepada Dimas, “Nah begitu kan lebih santai Dim. Gimana rasanya? Enak kan memek istriku?”

“Iiii… iyaa… ee… enak sekali Mas …” sahut Dimas terengah.

Mungkin inilah persetubuhan paling edan bagiku selama ini. Bagaimana tidak. Aku sedang disetubuhi oleh Dimas, suamiku malah bertanya enak gaknya memekku. Yang dijawab oleh Dimas, enak sekali Mas. Adakah istri lain pernah mengalami hal yang seperti sedang kualami ini?

Dan ketika suamiku duduk di pinggiran tempat tidur sambil mengelus-elus rambutku, rasanya aku jadi serba salah. Kucoba menatapnya dengan perasaan kasihan. Tapi lalu kudengar suaranya, “Enjoy aja Sayang. Sebenarnya aku sudah sering mengkhayalkan kejadian yang seperti ini. Sekarang kebetulan ada Dimas yang bisa membantu untuk mewujudkan khayalanku.

Dalam keadaan yang sudah lupa daratan, aku pun menyahutnya, “Kalau Mas ingin aku enjoy, Masnya ke luar dulu gih… jangan diam di kamar dulu… supaya aku lebih leluasa menikmatinya …”

Mas Adit tersenyum. Mengecup pipiku. Berbisik, “Iya… aku akan menunggu di luar kamar. Nikmati aja semuanya, ya Sayang.”

Kuremas tangan suamiku, lalu kubiarkan ia mengenakan kain sarung dan melangkah keluar dari kamar tidur ini.

Setelah suamiku berlalu, aku membisiki telinga Dimas, “Punyamu luar biasa enaknya, Dim. Makanya aku ingin menikmatinya tanpa disaksikan oleh Mas Adit yang membuatku canggung.”

“Iya Mbak… saya juga jadi rikuh disaksikan oleh Mas Adit tadi…”

“Nah… sekarang lakukan lah sebaik mungkin… anggap aja aku ini kekasihmu, ya Dim.”

“Baik Mbak …” sahut Dimas sambil mulai menggeser-geserkan batang kemaluannya di dalam liang kewanitaanku.

“Dim… ooooh… ini luar biasa enaknya Dim… ooooh …” rintihku histeris ketika penis Dimas mulai lancar bermaju mundur di dalam liang senggamaku.

Dimas itu selain jauh lebih muda daripada suamikku, ukuran penisnya pun berbeda, lebih panjang dan lebih gede daripada punya suamiku. Maka ketika penisnya mulai lancar mengentot liang kemaluanku, terasa benar sreset… sreset… sreset… nikmatnya melejit-lejit dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunku…

Terlebih lagi setelah Dimas mulai mencelucupi pentil toketku (atas permintaanku), rasanya lengkaplah segala nikmat yang tercurah dari persetubuhan dengan Dimas ini.

Namun aku masih sempat berbisik lagi ke telinga Dimas, pelan sekali karena takut terdengar oleh suamiku, “Tiga hari lagi Mas Adit akan tugas ke Denpasar. Katanya mau nginap dua malam di sana. Kamu diem-diem ke sini ya …”

“Iya Mbak… malam kan? Siangnya kan saya kerja.”
“Ya iyalah. Aku ingin ditiduri sama kamu semalam suntuk, tanpa gangguan Mas Adit.”
“Ta… tapi… ini saya udah mau ngecrot Mbak …”
“Haaa? Kok cepet banget?”

“Udah terlalu dibayangin sih sejak tadi… tapi kalau ngecrot, paling juga lima menit kemudian bisa ngaceng lagi.”

“Ya udah lepasin aja dulu. Nanti akan kuusahakan agar ngaceng lagi setelah ngecrot.”
“Lepasin di mana Mbak?”
“Di dalem aja… gak apa-apa kata Mas Adit juga.”

Lalu Dimas menggenjot batang kemaluannya dengan gerakan yang lebih cepat. Dan akhirnya dia membenamkan penisnya dalam - dalam, dengan nafas tertahan… lalu terdengar nafasnya berdengus - dengus seiring dengan berkejut - kejutnya batang kemaluannya tang tengah menyemprot - nyemprotkan air maninya di dalam liang kewanitaanku.

Creeeet… cretttttt… croooooottttttt… cretttt… crooootttttt… croooottttttt… croooooooootttttt…!

Dimas seperti kaget. Begitu selesai ejakulasi di dalam liang kewanitaanku, Dimas langsung mencabut batang kemaluannya, lalu bergerak ke pintu arah ke ruang depan, seperti mengintip sesuatu. Lalu kembali lagi padaku sambil berkata setengah berbisik, “Mas Adit ketiduran di atas sofa…”

“Iya… biasa dia sih begitu. Kalau nonton tivi suka ketiduran sampai pagi,” sahutku sambil menyeka kemaluanku dengan kertas tissue basah. Lalu menarik pergelangan tangan Dimas.

Tanpa merasa canggung lagi, kucium bibir anak muda itu. Diikuti dengan bisikan, “Sebenarnya kontolmu enak sekali Dim. Sayang cdepet bangetg ngecrotnya.”

Bisikan itu kulontarkan sambil memegang penis Dimas yang sudah terkulai lemas. Tapi baru sebentar aku memegang dan mengelus - elus kepala penis Dimas, tiba - tiba kurasakan batang kemaluan Dimas mulai membesar dan menegang. Maka kuremas - remas penis Dimas dengan lembut, sampai akhirnya ngaceng lagi…

“Udah ngaceng Dim,” ucapku sambil merangkak dan menunggingkan bokongku, “Masukin dari belakang aja ya.”

“Iya Mbak,” sahut Dimas sambil berlutut di belakangku di atas bed. Lalu sambil memegang bbuah pantatku Dimas memasukkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku yang masih basah ini. Blesssss… terasa batang kemaluannya membenam ke dalam liang sanggamaku.

“Iyaaaaa… udah masuk Dim… rintihku sambil memeluk bantal guling, “ayo entotin lagi… mudah - mudahan jangan cepat ngecrot seperti tadi.”

“Iiii… iyaaaa Mbak… mungkin sekarang sih bakal lama ngecrotnya…” sahut Dimas sambil mengayun penisnya bermaju mundur di dalam liang kemaluanku.

“Aduuuuh… enak Dim… ayo entot terus Diiim… ini enak sekaliii… iyaaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaah… enaaaaak Diiiim… enaaaaaak… “rintihku dengan suara ditahan - tahan, agar jangan sampai terdengar oleh Mas Adit. Supaya dia jangan terbangun mendengar suara rintihanku.

Sambil meremas - remas bokongku, Dimas pun menyahut setengah berbisik, “Iya Mbak… ini tem.. tempik Mbak juga… enak sekali… uuuuughhh… uuuugh…”

“Iyaaaaa… ayo entot terus Dim… makin lama makin enak niiiih… aaaaaah… Diiim… enaaak Diiim… enaaaaak… entot terussss… iyaaaaa… iyaaaaa… ooooh Diiim… oooooh… ohhhhh… Diiiiimaaaas…”

Kali ini Dimas jauh lebih poerkasa daripada yang pertama tadi. Lebih dari setengah jam ia mengentotku, sehingga keringatnya mulai berjatuhan di punggungku. Bahkan dengan lincahnya ia menepuk - nepuk pantatku.

Dan… kali ini aku benar - benar orgasme.

Dengan tubuh mengejang kutahan nafasku. Dan ooooh… puncak orgasme yang teramat indah ini pun kurasakan. Disusul dengan ejakulasi Dimas pula yang crot crot croooooootttttttt…!

Aku tidak tahu apakah Mas Adit itu seorang lelaki cuckold atau bagaimana. Yang jelas peristiwaku dengan Dimas itu membuat birahi Mas Adit bergolak terus. Dalam semalam dia bisa menghabiskan 2 atau 3 “porsi” yang biasanya “disantap” seminggu sekali.

Sebelum terbang ke Depasar, Mas Adit bahkan berkata padaku, bahwa aku boleh ditemani oleh Dimas tiap malam sekali pun selama Mas Adit masih berada di Denpasar.

Dan aku laksana seorang pencuri yang diijinkan mencuri oleh polisi. Tentu saja dengan tenang dan nyaman aku jadi bisa menguras kejantanan Dimas selama Mas Adit berada di Denpasar.

Setiap pulang kerja, Dimas tidak pulang ke rumah kontrakannya, tapi langsung menuju rumahku. Aku pun menyambutnya dengan masakan yang kubuat sendiri, untuk makan bersama Dimas.

Setelah beristirahat barang sejam, Dimas kembali menyetubuhiku sepuasnya. Aku pun habis - habisan menguras kejantanan Dimas dengan perasaan tenang dan nyaman. Karena aku sudah mendapatkan ijin khusus dari suamiku.

Setiap malam aku dan Dimas laksana sepasang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madu.

Namun setelah Mas Adit pulang dari Denpasar, terpaksa kebiasaan yang sangat menyenangkan hatiku itu dihentikan dahulu. Dengan janji bahwa kalau Mas Adit ke luar kota atau keluar provinsi lagi, aku akan mengadakan rendezvous lagi bersma Dimas tersayang.

Tapi ada sesuatu yang mengejutkanku setelah Mas Adit berada di rumah kembali. Ternyata Mas Adit memasang kamera cctv di dalam kamarku. Maka setelah diputar kembali di monitor yang terletak di ruang kerjanya, aku jadi malu sendiri. Karena semua adeganku bersama Dimas selama ini tertayang di monitor itu…

Aku malu sekali. Karena kelihatan sekali betapa binalnya diriku waktu berhubungan sex dengan Dimas yang demikian seringnya itu.

Malu aku sama Mas Adit. Malu sekali.

Tetapi tayangan di monitor cctv itu justru dijadikan semacam perangsang bagi Mas Adit. Bahkan setiap kali mau menyetubuhiku, Mas Adit selalu memutar kembali adegan binalku waktu disetubuhi oleh Dimas itu. Lalu Mas Adit jadi sangat bergairah untuk menyetubuhiku…!

Mas Adit pun berterus terang pada suatu hari, tentang masa lalunya yang penuh hura - hura. Antara lain dalam soal sex.

Saat itu Mas Adit dan teman - temannya sering minum minuman keras. Setelah mulai mabok, mereka selalu saja berhasil mendapatkan cewek untuk menjadi pelampiasan nafsu mereka. Lalu mereka meng-gangbang cewek itu. Dan Mas Adit selalu minta jatah paling akhir saja. Karena dia sangat syur melihat teman - temannya menyetubuhi cewek itu secara bergiliran.

Maka ketika tiba giliran Mas Adit untuk menyetubuhi cewek amatir itu, nafsunya sudah full. Sehingga Mas Adit selalu puas melakukannya.

Maka ketika aku mengatakan fantasi liarku yang sedang ngidam ini, Mas Adit seolah punya jalan untuk melakukan kebiasaan di masa mudanya itu. Ingin melihatku disetubuhi oleh orang lain, yang lalu mengobarkan nafsu birahi Mas Adit lebih dari biasanya.

Aku tak mau melontarkan kritik sepatah kata pun. Karena kebiasaan masa lalu Mas Adit yang kini terulang lagi itu, justru membuatku leluasa disetubuhi oleh Dimas. Dengan kata lain, kebiasaan Mas Adit itu justru membuatku enjoy… angat enjoy.

Tapi masalah yang tidak diduga - duga pun terjadi.

Dimas dimutasikan ke Medan, dengan kedudukan dan gaji yang naik drastis.

Sedih juga aku dibuatnya. Karena biar bagaimana pun juga Dimas sudah memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh Mas Adit. Tentu saja Dimas jauh lebih segar daripada Mas Adit, meski aku tak berani mengatakan hal itu kepada suamiku.

Mas Adit pun tampak merasa kehilangan setelah Dimas dipindahkan ke Medan itu.

Tapi Mas Adit berjanji akan mencari lagi lelaki yang kira - kira sama “nilainya” dengan Dimas. Aku tidak menolak, tapi mengiyakan pun tidak.

Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya. Sampai pada suatu hari…

Dengan seizin Mas Adit, sore itu aku berangkat ke rumah Mama, yang letaknya sekitar 30 kilometer dari rumahku. Sengaja aku tidak menelepon Mama dulu, karena ingin membuat surprise.

Setibanya di rumah Mama, malah Papa tiriku yang asli Jerman itu yang membuka pintu depan.

“Davira?!” tanya lelaki bule yang usianya hanya 5 tahun lebih tua dariku itu, “Sama siapa?”

“Sendirian aja Pap,” ucapku yang lalu cipika cipiki dengan ayah tiriku yang usianya 13 tahun lebih muda daripada Mama itu.

Memang nasib Mama terbalik kalau dibandingkan denganku. Mas Adit yang usianya 45 tahun menikah denganku yang baru 25 tahun. Sedangkan Mama yang usianya 43 tahun malah bersuamikan Papa Edgar yang usianya baru 30 tahun.

Pada waktu menikah dengan lelaki bule berbadan tinggi besar yang sudah WNI itu, usia Mama sudah 40 tahun. Sementara lelaki bernama Edgar itu baru berusia 27 tahun. Berarti pada saat aku sedang hamil muda ini, Papa Edgar baru 30 tahun, sementara Mama sudah 43 tahun. Dan Mas Adit dua tahun lebih tua daripada mertuanya (Mama).

“Lho… Mama mana Pap?” tanyaku setelah mencari Mama ke kamarnya tidak ada.

Papa yang sedang duduk di sofa ruang keluarga menyahut, “Baru aja mau ngasih tau, Mama lagi ke Semarang. Biasa… lagi ngurus bisnisnya. Kenapa tadi gak nelepon dulu sama Mama?”

“Tadinya aku mau ngasih surprise sama Mama. Makanya gak nelepon dulu,” sahutku sambil duduk dengan sikap manja di samping ayah tiriku yang penyabar itu. Aku bahkan merebahkan kepalaku di atas kedua paha lelaki bule itu.

Aku tahu seluk beluk bisnis Mama, yang terkadang harus berangkat ke luar provinsi untuk mengurusnya. Aku juga tahu bahwa bisnis Mama itu dimodali oleh Papa Edgar. Karena Papa Edgar menanam saham di sebuah perusahaan besar. Lalu hasilnya mengalir terus ke tangan Papa, tanpa harus ikut - ikutan sibuk di perusahaan itu.

“Besok malam juga Mama pulang. Tidur aja di sini daripada capek bolak - balik. Mau ngasih surprise apa sama Mama?” tanya Papa.

“Aku lagi hamil muda Pap.”
“Haaa?! Kamu belum kelihatan hamil. Udah berapa bulan hamilnya?”
“Baru mau tiga bulan. Memang belum kelihatan. Makanya aku belum pakai baju hamil.”

“Seneng denger kamu hamil,” ucap Papa sambil mengusap-usap rambutku, “Aku keduluan sama kamu. Mama belum hamil - hamil juga.”

“Di usia segitu masih bisa hamil Pap?”
“Masih bisa. Tapi pada waktu melahirkan, mungkin harus dicezar, supaya aman.”

“Oh iya… Tante Miriam juga tempo hari melahirkan lagi anak ketiganya. Umur Tante Miriam kan cuma setahun lebih muda dari Mama.”

“Temanku juga banyak yang melahirkan di usia lebih dari empatpuluh tahun.”
“Tapi Papa pasti ingin merasakan nikmatnya perempuan yang sedang hamil ya.”
“Itu juga salah satu keinginanku, di samping ingin punya keturunan juga.”
“Ohya… nanti kalau aku tidur di sini di kamar mana Pap?”
“Kamar kamu kan masih ada. Belum pernah dipakai sama orang lain.”
“Kalau Yudah pulang, di mana tidurnya?”
“Di kamar paling depan itu. Kan Yudah kamarnya di situ.”

Mendadak aku teringat pada adikku satu - satunya itu, yang kuliahnya di Surabaya. “Yudah kapan selesai kuliahnya Pap?”

”Skripsinya udah selesai. Tinggal nunggu sidang aja. Kalau lulus, tahun ini juga diwisuda,” sahut Papa sambil membelai rambutku dengan lembut.

“Syukurlah. Setelah diwisuda dia kan bisa langsung kerja, karena sudah ada perusahaan besar yang akan merekrut dia.”

Aku terdiam. Sambil menikmati lembutnya belaian Papa Edgar. Mungkin kelembutannya itu karena merasa aku ini seperti anak kandungnya, meski usianya cuma lebih tua 5 tahun dariku.

Tapi… lagi - lagi fantasi liarku menggoda lagi. Apakah ini karena aku ngidam, atau karena sudah terbiasa digauli oleh Dimas dengan seizin suamiku? Entahlah. Yang jelas aku mulai membayangkan seandainya Papa menyetubuhiku… ooooh… kenapa aku jadi membayangkan hal gila itu? Kenapa aku malah membayangkan penis bule yang belum pernah kurasakan?

Memang gila. Tapi kemudian aku berkata, “Pap… pengen nyobain vagina wanita hamil nggak?”

“Haa?” Papa menatapku, “Mama kan belum bisa hamil juga.”
“Aku mau kok disetubuhi sama Papa, sebagai ganti Mama…”

Papa menatapku lagi. Seperti tak percaya pada pendengaranku sendiri.

“Mau nggak Pap? Kalau mau, aku mau nginap di sini sekarang. Tidurnya bersama Papa.”
“Mau Sayang. Tapi nanti jangan sampai Mama tau ya.”

“Ya iya lah. Aku juga takut kalau ketahuan Mama sih. Ini rahasia kita berdua aja Pap. Soalnya aku pengen juga ngerasain penis bule… hihihiii…” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Papa.

Papa mengangkat dan membopong tubuhku ke dalam kamarnya. Lalu diletakkannya tubuhku dengan hati - hati di atas bed yang biasa dipakai oleh Papa dan Mama.

Di situlah Papa menggumuliku disertai bisikan, “Sebenarnya sejak lama aku menunggu kesempatan baik ini. Tapi baru sekarang bisa terwujud… dalam keadaan sedang hamil muda pula.”

Aku cuma tersenyum. Padahal aku sejak Papa Edgar menikah dengan Mama, aku jadi sering membayangkan tentang sesuatu yang belum pernah kulihat di alam nyata… tentang bentuk batang kemaluan lelaki bule…!

Kini aku akan menyaksikannya seperti apa kontol bule itu. Dan akan menikmatinya, seperti apa rasanya digenjot oleh kontol bule itu.

Ternyata Papa Edgar tak cuma lembut membelai rambutku, tetapi juga terasa hangat waktu mencumbuku. Dan kalau kunilai secara kasat mata, Papa Edgar lebih “berbobot” daripada Dimas yang masih terlalu lugu itu.

Ketika aku sudah tinggal mengenakan beha yang bersatu dengan korset berwarna hitam, Papa Edgar tak sabaran lagi untuk menjilati memekku yang kebetulan habis dicukur gundul. Padahal dia masih mengenakan celana jeans dan baju kaus hitam.

Aku pun menggeliat - geliat dibuatnya. Karena Papa terlalu trampil dalam menjilati kemaluanku. Bahkan ketika ia menjilati kelentitku, dua jari tangannya pun diselundupkan ke dalam liang memekku.

Oooohhh… aku tergetar - getar dalam amukan nafsu birahiku yang mulai tak terkendalikan ini.

Pada waktu Papa Edgar melepaskan celana jeans dan celana dalamnya, aku pun langsung menangkap kontol bulenya yang panjang dan gede sekali, tapi belum benar - benar ngaceng.

Aku pun sering melihat dari bokep, bahwa orang bule selalu harus dimulai dengan permainan oral. Senang mengawali ML dalam posisi doggy pula.

Maka dengan tangan agak gemetaran kupegang penis Papa. Dan lalu kujilati leher serta moncongnya. Kemudian kumasukkan ke dalam mulutku.

Aku sudah cukup tram, pil dalam hal oral - oralan sih. Karena Mas Adit juga baru bisa ereksi setelah kuoral dulu abis - abisan.

Tapi penis yang sedang kuoral ini sungguh beda… baik warnanya mau pun ukurannya. Penis Papa Edgar ini… gede bingit…!

Tapi hal itu pula yang membuatku sangat bersemangat untuk mennyedot dan menggelutinya dengan lidah di dalam mulutku. Sambil mengalirkan air liur ke badan penis putihnya. Air liur ini sangat berguna, karena aku pun menggunakan jemariku untuk mengurut - urutnya.

Dalam tempo singkat saja penis putih panjang gede itu sudah benar - benar tegang. Maka aku pun melepaskan beha korset hitamku, lalu aku menungging di atas kasur.

Papa Edgar pun mengerti. Mungkin dia senang, karena orang bule sangat suka mengentot dalam posisi doggy atau sambil berdiri membelakanginya. Kesimpulannya, mereka sangat suka mengentot dari belakang.

Dalam keadaan hamil muda begini, memang posisi doggy ini termasuk aman bagiku. Karena perutku takkan tergencet oleh perut Papa Edgar.

Lalu kurasakan penis panjang gede itu menyelusup ke dalam liang kewanitaanku.

“Ooooohhhh… Papaaaaa… ini enak sekali Paaaap… “rintihku ketika penis Papa sudah mulai mengentot liang memekku…!

Papa memang trampil sekali mengentotku dalam posisi doggy begini. Sambil mengayun penisnya yang berada di dalam liang kewanitaanku, Papa bisa menggerayangi memekku dan lalu mencari - cari kelentitku. Kemudian ia mengentotku sambil mengelus - eluskan ujung jarinya ke kelentitku.

Tentu saja elusan di titik yang paling sensitif itu membuatku kleyengan dalam nikmat tiada tara. Terlebih karena sentuhan itu dilakukan pada saat penis panjang gedenya tengah menyodok - nyodok liang kewanitaanku yang sudah basah licin ini.

“Papa… oooohhhh… Papaaaa… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Paaaap… enak sekali Paaap… entot terus Paaap… entooooottttt… iyaaaa Paaaaap… ooooohhhh… Papaaaaa… Papaaaaa…”

Genjotan penis panjang gede itu terkadang disertai dengan remasan - remasan di pantatku. Terkadang juga kedua tangan Papa merayap ke arah sepasang payudaraku. Lalu meremas - remasnya seolah gemas. Bahkan terkadang Papa menarik - narik rambutku sambil mengayun penisnya di liang memekku.

Lalu Papa menawarkanku untuk bermain dalam posisi WOT. Aku setuju saja, karena posisi itu termasuk aman juga buat kehamilanku.

Papa mencabut penisnya, lalu menelentang. Kemudian aku berlutut sambil memegang penis Papa, yang moncongnya kuarahkan ke mulut vaginaku. Lalu kuturunkan bokongku, sehingga penis gede itu pun melesak masuk ke dalam liang memekku.

Kini giliranku untuk aktif menaik turunkan bokongku, dengan sendirinya kewanitaanku pun naik turun. Membuat penis Papa seolah maju mundur di dalam cengkraman liang kewanitaanku, padahal memekku yang bergerak turun naik.

Namun posisi ini membuatku cepoat mencapai puncak kenikmatanku. Karena rahimku turun, sehingga terus - terusan bersundulan dengan moncong penis Papa.

Akibatnya… aku ambruk diiringi rengekan manjaku, “Papaaaaaa…”

Ya… posisi WOT ini membuatku terlalu cepat mencapai orgasme. Lalu aku ambruk ke atas dada Papa Edgar.

Tapi sesaat kemudian, aku sudah celentang, sementara Papa sudah berluitut sambil mengarahkan moncong zakarnya ke mulut kemaluanku. Sementara kedua belah pahaku Papa dorong agar mengangkang selebar mungkin, bahkan lalu menumpang di atas kedua paha Papa.

Sambil berlutut Papa membenamkan kembali penisnya ke dalam liang memekku yang sudah basah ini (akibat orgasmeku tadi).

Lalu mulailah Papa mengayun kembali penis panjang gedenya.

Tampaknya tubuh Papa sudah kemerahan dan berkeringat. Bahkan keringatnya mulai berjatuhan di atas perutku. Bahkan ada juga yang jatuh di leher dan wajahku. Tapi aku malah bernafsu kembali untuk meladeni kejantanan ayah tiriku itu. Malah ketika keringatnya berjatuhan di bibirku, sengaja kujulurkan lidahku untuk menjilatinya, lalu menelannya.

Di bawah kekuasaan nafsu, aku tidak lagi merasa jijik pada keringat Papa. Bahkan pada suatu saat aku berkata, “Pap… sini… Papa telungkupi aja badanku. Papa kan bisa gunakan sikut Papa untuk menahan, agar perut Papa tidak menggencet perutku.”

“Iya, iyaaaa…” sahut Papa sambil bergerak menelungkupiku, sementara kedua sikutnya menekan kasur, untuk menahan agar perutnya tidak menggencet perutku.

“Nah… kalau begini, Papa kan bisa mengentotku sambil mencium bibirku, menjilati leherku, mengemut pentil toketku dan sebagainya…” ucapku sambil mengusap - usap pipi Papa yang kemerahan dan basah oleh keringat.

Dengan menahan badannya dengan kedua sikutnya, perut Papa hanya bertempelan dengan perutku, tapi tidak terasa menggencet perutku.

Dalam keadaan seperti ini, Papa malah bisa menciumi bibirku bertubi - tubi. Biosa menjilati leherku dan mengemut pentil toket kiriku sambil meremas - remas toket kananku.

Ini semua terasa indah sekali. Sehingga aku pun merintih dan merengek lagi di dalam arus nikmatku. “Papa… oooooohhhh… penis Papa luar biasa enaknya Paaaaap… ooooohhhhh… terasa sekali menggwesek - gesek liang memekku Paaap… ooooohhhhh… entot terus Paaap… entooot teruuuusssss… entoootttt …

“Aku juga makin sayang sama kamu Lus,” sahut Papa tanpa menyetop entotannya.

Makin lama entotan Papa semakin gencar rasanya. Sementara aku merintih, mengerang, merengek sambil menggeliat - geliat. Dalam arus nikmat yang luar biasa rasanya.

Tubuh Papa pun semakin basah oleh keringatnya, yang bercampur aduk dengan keringatku.

Pada suatu saat Papa berbisik terngah, “Davira Sayang… ini lepasin di mana? Di dalam apa di luar?”

Aku ingin memberikan kesan yang takkan terlupakan oleh Papa Edgar. Karena itu aku menjawab, “Di dalam mulutku aja Pap. Aku akan menelan sperma Papa sampai habis. Sebagai tanda sayangku pada Papa.”

Papa Edgar menggencarkan entotannya. Lalu mencabut kontol panjang gedenya dari dalam memekku. Kemudian ia bergerak cepat, berlutut dengan sepasang lutut di kanan kiri leherku. Sementara penisnya dikocok - kocok, dengan moncong yang sudah berhadapan dengan mulutku.

Sebenarnya detik - detik ini adalah detik - detik orgasmeku yang kedua. Maka ketika aku menarik penis Papa ke dalam mulutku, lalu menyedot - nyedotnya sekuatku… liang memekku terasa berkedut - kedut reflex.

Pada saat yang sama moncong penis Papa memuntahkan lendir pejuhnya di dalam mulutku.

Croootttt… croooootttt… crottttt… crooooottttttt… crootttt… croooottt…!

Begitu banyak sperma yang termuntahkan dari moncong penis Papa.

Jujur, aku poernah menelan air mani Mas Adit dan air mani Dimas. Tapi sperma mereka tidak sebanyhak sperma Papa ini.

Walaup pun begitu, dalam keadaan sedang menikmati orgasmeku sendiri, kutelan habis sperma Papa yang menggenang di dalam mulutku, tak kusisakan setetes pun…!

“Aduuuuh… sungguh ini pengalaman yang terindah di dalam hidupku,” ucap Papa sambil merebahkan diri di sampingku, lalu membelai rambutku yang basah oleh keringat ini.

Aku pun duduk sambil memegang penis Papa yang sudah lemas. “Buatku juga, ini pengalaman yang terindah Pap,” ucapku sambil menciumi penis Papa.

Papa menyahut, “Mungkin seharusnya kamu jadi istriku, Mama harusnya berpasangan dengan suamimu. Karena umurku cuma lima tahun lebih tua darimu, sementara usia Praditya kan lebih tua dari Mama. Hahahaaaa…”

“Biar aja Papa tetap dengan Mama, aku tetap bersama Mas Adit. Yang penting kita kan bisa melakukannya di belakang mereka.”

“Iya. Sampai kamu hamil di atas tujuh bulan juga, aku tetap ingin merasakan your pussy. Malah semakin perutmu buncit, buatku bakal semakin seksi.”

Kemudian kami mandi bareng di bawah semprotan air hangat shower.

Pada saat itulah Papa menuturkan alasan kenapa menikahi Mama. Pertama, Papa ingin bisa lebih cepat jadi WNI. Terbukti setelah menikah dengan Mama, beberapa bulan kemudian surat kewarganegaraan Papa pun terbit.

“Selain daripada itu, Mama giat berbisnis kecil - kecilan. Sedangkan aku banyak uang yang harus diputar, jangan hanya didiamkan di bank belaka. Mungkin Mama pernah cerita padamu, bahwa aku ini pemegang saham nomor dua terbesar pada sebuah perusahaan asing di Jakarta.”

“Iya, aku pernah dengar hal itu dari Mama. Lalu Papa memberikan modal yang cukup banyak kepada Mama. Sehingga bisnis Mama pun semakin melebar ke beberapa provinsi.”

“Iya… begitulah.”

Malam itu Papa menyetubuhiku sekali lagi. Kemudian kami tertidur dengan nyenyaknya.

Esoknya, pagi -pagi sekali aku sudah mandi dan keramas. Lalu pamitan kepada Papa untuk pulang.

“Lho kenapa pagi - pagi benar sudah mau pulang?” Tanya Papa seperti berat melepaskan kepergianku.

“Takut Mama keburu pulang. Takut banyak pertanyaan. Nanti gak usah dilaporkan kalau aku ke sini ya Pap.”

“Iya, iya… tunggu dulu sebentar, “Ppa bergegas masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian papa memberikan sesuatu padaku. Sehelai cek yang nominalnya membuatku terlongong.

“Untuk apa ini Pap?” tanyaku heran.

“Buat beli mobil, supaya jangan pakai taksi lagi kalau ke sini.”

Tentu saja aku terkejut waktu melihat nominal yang tertera di cek itu. “Tapi… yang lagi hamil muda kan gak boleh nyetir Pap,” ucapku.

“Cairkan saja ceknya, lalu masukkan ke rekening tabunganmu. Beli mobilnya setelah melahirkan juga gak apa - apa.”

“Papa… kok Papa baik banget sih?” ucapku sambil menyandarkan pipiku ke dadanya.

“Itu sekadar tanda sayangku padamu, Lus. Tapi jangan ngomong apa - apa sama Mama.”

“Iya Pap. Terima kasih… beribu - ribu terimakasih Pap. Aku akan simpan uangnya di rekening tabunganku. Biar jangan bikin heboh nanti, baik dari pihak Mama mau pun dari pihak Mas Adit.”

Lalu aku meninggalkan rumah Papa Mama dengan perasaan senang bercampur haru.

Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya.

Sampai pada suatu hari…

Pada hari itu Mas Adit berkata padaku, bahwa besok ada tugas mendadak dari kantornya. Dia harus terbang ke Kalimantan. Dan kemungkinan bisa sebulan dia akan berada di Kalimantan.

“Berarti selama sebulan aku harus sendirian di rumah Mas?” cetusku bernada protes.
“Kalau mau tinggal di rumah mamamu sampai aku pulang, gak apa - apa,” ucap suamiku.
“Nggak mau ah. Udah punya rumah sendiri masa harus numpang di rumah Mama.”

“Dari pagi sampai sore kan ada pembantu. Bagaimana kalau dia disuruh tidur aja di sini selama sebulan?”

“Takkan maui Mas. Si Tinem kan punya suami. Kalau janda sih bisa aja kusuruh nginep di sini sampai Mas pulang dari Kalimantan nanti.”

“Apa gak bisa ngajak mama adek tidur di sini selama aku berada di Kalimantan?”
“Aku kan pernah bilang sama Mas… Mama itu punya bisnis yang gak bisa ditinggalkan begitu aja. Susah ngajak Mama sih.”

Mas Adit seperti berpikir beberapa saat. Sampai kemudian dia mengeluarkan handphonenya. Lalu memijit nomor yang telah disaving di ponselnya.

Lalu Mas Adit memijat icon speaker, untuk mengeluarkan suara orang yang sedang diteleponnya.

“Hallo Yan… kamu sehat?”
“Sehat. Papa dan Mama juga sehat kan?”

“Sehat. Kamu bakal punya adek lagi nanti Yan. Mama sedang hamil muda. Baru tiga bulanan sih hamilnya. Sekitar enam bulan lagi baru melahirkan.”

“Hehehee… seneng dengernya. Aku bakal punya adek bayi nanti.”
“Ohya… kamu kapan bakal liburan panjang?”
“Tanggal satu Pa.”
“Tanggal satu besok?”
“Iya Pa. Liburannya cukup lama. Sebulan penuh.”

“Kebetulan! Kamu jangan maen ke mana - mana. Pulang ke rumah papa aja ya. Soalnya papa besok mau terbang ke Kalimantan. Selama sebulan papa di sana. Kasian Mama tuh, lagi hamil malah ditinggal sendirian.”

“Iya Pa. Aku juga sedang siap - siap mau pulang ke rumah Papa. Malah tiket kereta apinya sudah beli nih. Kebagian yang siang berangkatnya dari Gambir. Sekitar jam empat sore besok tiba di rumah Papa.”

“Syukurlah kalau begitu. Besok pagi papa sudah terbang ke Kalimantan. Berarti Mama cuma sendirian dari pagi sampai sore aja.”

Setelah menutup hubungan seluler dengan anak sulungnya, Mas Adit berkata padaku, “Jadi besok malam sudah ada teman tuh.”

“Yang Mas telepon barusan Yanu kan?”

“Iya. Yang manggil papa sama aku kan cuma Yanu dan Kendo,” ucap Mas Adit yang disusul dengan kecupan di pipiku.

Besok paginya Mas Adit berangkat ke bandara, diantarkan oleh mobil perusahaan.

Tinem datang sejam kemudian. “Selamat pagi Bu. Bapak sudah berangkat?” tanyanya.

“Udah, sejam yang lalu,” sahutku, “Ohya Nem… suamimu pencemburu nggak?”

“Sangat pencemburu Bu. Saya bekerja di sini aja tiap sebentar ngirim sms. Nanya lagi di mana dan sebagainya. Terkadang suka video call, supaya yakin bahwa saya sedang berada di rumah Ibu.”

“Ogitu ya. Suamimu bekerja di mana?”

“Cuma buruh pabrik Bu. Gajinya juga gak lebih besar dari gaji saya di sini. Hehehe…”

Aku cuma tersenyum menanggapinya. Memang aku selalu bersikap sebaik mungkin kepada pembantuku itu. Biar dia kerasan bekerja di rumahku. Mencari pembantu yang tekun bekerja di satu rumah sangat sulit di zaman sekarang ini.

Tadinya di rumahku tidak ada pembantu. Semua urusan rumah kukerjakan sendiri. Tapi sejak sebulan yang lalu Mas Adit mendatangkan pembantu untuk bekerja di rumahku. Untuk mempersiapkan kalau aku sudah melahirkan nanti. Karena kalau aku sudah melahirkan, pasti banyak pakaian anak yang harus dicuci tiap hari, katanya.

Yang menarik dari pembicaraanku dengan Tinem barusan adalah, suaminya pencemburu. Sedangkan Mas Adit sebaliknya.